Mata Uang Baru Itu Bernama Data oleh Hilman Fajrian 18 November 2015
https://(http://www.kompasiana.com/hilmanfajrian/mata-uang-baru-itu-bernama-data_564c2214b19273b106541023)
Di tahun 2004-2007 Google disibukkan dengan rencana mengembangkan
bisnis mereka ke bidang telepon selular (ponsel). Google telah
memprediksi bahwa ponsel adalah masa depan komputasi. Sehingga mereka
ingin memproduksi ponsel untuk menyaingi para raksasa saat itu: Nokia,
Blackberry, Sony Ericsson dan Motorola. Ditambah, Google mengendus bahwa
Apple akan segera merilis ponsel revolusioner yang kini kita kenal
dengan nama iPhone. Memproduksi ponsel bukan hanya soal menciptakan
perangkat kerasnya (hardware), tapi juga sistem operasinya (operating
system-OS). OS ponsel saat itu hanya 3: Symbian, Microsoft Mobile dan
Blackberry. Hanya Symbian yang open source. Namun pengembangan Symbian
oleh Symbian Foundation dibiayai oleh Sony Ericsson, Samung, Motorola
dan Nokia. Kalau Google ikut ke Symbian, sama juga bohong. Bukan Google
kalau tidak berpikir out of the box. Dalam sebuah rapat, CEO Google Eric
Schmidt berkata, "Kita tidak akan membuat ponsel. Tapi membuat sesuatu
yang akan digunakan di semua ponsel." Artinya, alih-alih memproduksi
brand baru ponsel untuk menyangi brand lain, Google akan menciptakan OS
yang bisa dipergunakan semua ponsel di seluruh dunia. Hoki Google sedang
terang. Tahun 2005 mereka dipertemukan dengan Andy Rubin, pengembang OS
Android, yang sedang kekurangan duit. Google membeli Android sekaligus
Rubin sebesar $50 juta. Android adalah OS ponsel berbasis Linux yang
open source dan gratis. Dengan Android sebagai senjata, Google memulai
perangnya di bisnis ponsel dan kini berhasil menjatuhkan para raksasa
lama. Diluncurkan resmi tahun 2010, kini Android adalah OS ponsel yang
paling banyak digunakan di dunia. Ia terpasang di 1,6 miliar lebih
ponsel, melampaui iOS dengan 628 juta. Karena Android lah sekarang kita
bisa menikmati smart phone dengan harga bahkan di bawah Rp1 juta. Karena
ia gratis sehingga setiap produsen smart phone bisa menekan biaya
produksi serendah-rendahnya. Karena Android bermunculan produsen smart
phone, termasuk di dalam negeri. Bahkan demi Android, Google membeli
Motorola (yang beberapa waktu lalu dijual lagi). Kalau Android gratis,
darimana Google untung? ERA KAPITALISASI DATA Ponsel adalah perangkat
komputasi yang sudah jadi bagian hidup sehari-hari orang banyak. Hadapi
kenyataan ini: ponsel anda lebih tahu siapa anda dibandingkan diri anda
sendiri. Ponsel adalah mesin tambang emas. Emas itu adalah data anda.
Data ini tidak sekedar nama, gender, usia dan lokasi yang datanya anda
masukkan ketika registrasi akun untuk mengakses Android (atau iPhone).
Google tahu hobi dan perilaku anda dari aplikasi yang anda install dari
Playstore. Mereka bisa secara presisi tahu lokasi anda dan tempat-tempat
yang anda kunjungi lewat GPS untuk membaca minat anda. Semua situs yang
anda kunjungi lewat ponsel akan terekam dan dibaca datanya untuk
mengidentifikasi ketertarikan anda. Lewat email yang masuk ke ponsel,
Google bisa tahu pekerjaan, relasi dan minat. Bahkan, bila anda sudah
memakai Google Wallet yang bisa digunakan sebagai alat pembayaran ke
mesin EDC dengan cara tapping, Google tahu berapa pengeluaran anda dan
dimana anda berbelanja. Data-data ini masih ditambah dengan data yang
mereka dapatkan ketika anda menggunakan perangkat komputasi lain, PC
contohnya. Kebetulan browser paling banyak dipakai adalah Google Chrome
yang disinkronkan dengan akun Google anda. Situs apa yang anda kunjungi,
berapa lama anda bertahan di situs tersebut, aktivitas apa yang anda
lakukan, Google tahu. Mungkin terdengar mengerikan, tapi itulah
kenyataanya. Apa yang akan Google lakukan ketika semua data kita (dan
miliaran user lain) mereka pegang? Menjual data itu ke pengiklan. Google
adalah biro iklan terbesar di planet ini. Nama produknya adalah
Adsense. Pendapatan Google dari Adsense tahun 2014 adalah $59 miliar
atau Rp826 triliun. Hampir separuh APBN Indonesia 2014 yang sebesar
Rp1.800 triliun itu. Bagaimana data-data itu bisa berguna bagi
pengiklan? Setiap pengiklan atau pemilik brand ingin agar setiap
iklannya disaksikan oleh calon konsumen yang sesuai dengan target pasar
mereka. Misal, brand mobil akan sia-sia mengiklankan diri mereka kepada
orang yang beli sepeda motor pun tak sanggup. Karena periklanan
konvensional tak bisa memenuhi kebutuhan micro targeting, maka
dilakukankan periklanan dalam bentuk broadcast. Memasang billboard tepi
jalan misalnya. Misal, dari 1 juta orang yang melihat iklan itu per
hari, hanya 30% yang mampu beli mobil, atau hanya 10% yang sedang
berencana beli mobil. 70% sisanya sia-sia. Bila tarif memasang iklan
tepi jalan itu Rp300 juta/bulan dan hanya bisa mendatangkan 100
pembeli/konsumen, maka nilai akusisinya adalah Rp3 juta per konsumen.
Alangkah mahalnya. Mahalnya nilai akuisisi ini karena pengiklan turut
menghabiskan uangnya menampilkan iklan kepada audien yang bukan segmen
pasar mereka. Ini bukan disengaja, tapi tak ada jalan keluar untuk micro
targeting. Sampai Google menyediakan Adsense. Dengan Adsense, selain
micro targeting, pengiklan bisa membayar sesuai kebutuhan. Misal, mereka
hanya butuh iklan mereka disaksikan, maka bisa memilih cost per mile
(CPM). Bila butuh audien mengklik, bisa memilih cost per click (CPC).
Atau, kalau anda ingin baru membayar ketika konsumen bertransaksi di
website anda, bisa memilih cost per acquisition (CPA). Sampai di sini
anda sudah tahu bagaimana data bisa dikapitalisasi, dikomersialisasi
atau dimonetisasi sampai jumlah pendapatan super raksasa. Data ini
didapatkan dari user, kita semua. Demi mendapatkan user, Google
menyediakan berbagai platform gratis: mesin pencari, Android, Chrome,
Youtube, Google+. Dan yang terakhir yang sedang ramai di Indonesia
adalah Google Baloon, sebuah akses internet wifi gratis dari Google
berbentuk balon. Bayangkan berapa user dan data yang bisa Google
dapatkan dari balon itu. Mau tak mau kita harus setuju dengan argumen
ini: if something is free, then you're the product. Yang membuat
kapitalisasi data ini makin menarik adalah setiap orang bisa ikut
untung. Setiap pemilik website, mobile app dan video di Youtube, bisa
menyediakan tempat atau konten mereka sebagai tempat periklanan Adsense.
Setiap orang bisa jadi media beriklan dan dapat pemasukan besar.
Penyedia konten seperti Kompasiana, Detik, Kompas, Tribun, ikut menjadi
rekanan Adsense. Pencipta game fenomenal Flappy Bird, meraup untung
Rp608 juta per hari dari iklan Adsense yang ia tayangkan di game-nya.
Atau seperti Yugianto, warga Desa Jamus di Karanganyar yang mendapatkan
Rp40 juta/bulan dari kumpulan videonya di Youtube. Yang melakukan ini
bukan hanya Google, tapi juga Facebook yang memanfaatkan data usernya ke
pengiklan Facebook. Kedua bersaing dalam mendapatkan user
sebanyak-banyaknya agar makin banyak data sebagai 'emas' yang bisa
digali. Maka tak heran bila dua entitas ini menjadi promotor utama dalam
gerakan internet gratis. Makin murah atau gratis internet, makin banyak
pula user yang mereka dapatkan dan otomatis makin banyak data yang bisa
digali untuk kemudian dijual. Begitu pentingnya data bagi bisnis
digital dan sudah jadi mata uang baru, salah satu profesi yang paling
seksi di era ini adalah data scientist atau ilmuwan data. Ainun Nadjib,
penggagas KawalPemilu yang fenomenal itu kini bekerja sebagai data
scientist di sebuah perusahaan digital di Jakarta. Sampai di sini anda
sudah memahami mengapa sebuah penyedia produk gratis bisa menghasilkan
keuntungan raksasa dan jadi perusahaan paling kaya di planet ini.
MEMBAKAR UANG DEMI USER Bila anda sering berkunjung atau berbelanja ke
situs belanja online, khususnya Indonesia, akan sering ditemui barang
dengan harga jauh lebih murah dibanding pasaran. Atau sering juga ada
program promo yang menjual barang dengan diskon sampai 90%, bahkan 99%.
Harga-harga yang sulit diterima akal. Kita yang awam ini akan berpikir
harga bisa murah karena banyak biaya operasional yang dipangkas, atau
sebuah brand produk sedang promosi di situs itu. Sebagian kecil benar,
tapi sebagian besar salah. Yang terjadi adalah pengelola toko online
memberi subsidi kepada konsumen sejumlah selisih harga. Bila distributor
memberi harga Rp1 juta kepada toko, dan toko menjual seharga Rp500 ribu
kepada konsumen, maka toko nombok Rp500 ribu. Kalau ada 100 pembelian,
maka toko nombok Rp50 juta. Sebagai orang yang sering berpergian, saya
selalu gunakan aplikasi pemesanan tiket pesawat dan hotel. Sumpah, ini
bukan iklan, tapi namanya Traveloka. Saya pernah protes kepada pengelola
hotel yang rajin saya inapi mengapa ia tak bisa memberi saya harga
semurah Traveloka kalau saya go show (datang langsung). Ia jawab, harga
kamar yang ia berikan ke Traveloka sama dengan harga kamar bila saya go
show. Kalau harga Traveloka lebih murah, itu karena disubsidi atau
ditomboki oleh Traveloka. Lha, jualan kok nombok? Kalau mau yang lebih
aneh lagi, lihat Gojek. Mereka kabarnya telah mendapatkan investasi
sedikitnya Rp200 miliar Sequoia Capital di pertengahan tahun tadi. Ada
juga yang menyebut Rp600 miliar. Sampai sekarang Gojek masih rugi,
terutama karena bonus referral. Kerugian keuangan Gojek ini dikonfirmasi
oleh Nadiem Makarim, CEO Gojek. Dalam sebuah pertemuan pada Oktober
lalu, Nadiem mengatakan, "Kami memang belum untung. Kalau kami untung
justru kami dimarahi investor." Investor kok tidak mau untung? Tidak
masuk akal, kan? Kalau mau yang lebih tidak masuk akal lagi, lihatlah
Whatsapp. Messanger ini tidak menampilkan iklan, pun gratis tahun
pertama. Biaya berlangganan di tahun berikutnya hanya $1/tahun. Itu pun
bisa 'diakali' supaya gratis terus. Tapi tahun lalu Facebook membeli
Whatsapp Rp222 triliun! Secara keuangan, perusahaan ini tidak pernah
untung, tidak beriklan, tapi dibeli ratusan triliun. Bisnis konvensional
sulit memahami ini. Selama ini performace bisnis hanya diukur lewat
angka di buku keuangan perusahaan. Kalau duitnya minus, berarti jelek.
Namun dalam bisnis digital, data adalah mata uang baru. Pintu masuknya
melalui jumlah user. Kalau kita sudah mendapatkan user, datanya akan
siap untuk dikapitalisasi untuk apapun. Iklan hanya salah satunya.
Artinya, kalau sudah punya banyak user, terserah mau kita manfaatkan
untuk apapun agar menghasilkan uang. Jadi, dalam bisnis digital modal
dalam bentuk uang lebih sebagai tool atau perangkat untuk mencapai
target yang sebenarnya: user dan data. Dalam startup (perusahaan
rintisan) digital, hal seperti ini biasa disebut membakar uang demi
mendapat user. Bukan hanya membakar lewat pemberian subsidi harga, tapi
juga periklanan. Dengan investasi Rp1,2 triliun, Tokopedia bisa
menempatkan iklannya di berbagai billboard Ibukota. Dengan modal Rp6,5
triliun, Mataharimall sanggup memberi diskon barang sampai 99%. Dengan
jumlah user yang banyak, valuasi atau nilai produk atau perusahaan
digital otomatis akan naik. Whatsapp dengan 1 miliar pengguna dan 450
juta pengguna rutin bulanan, ketika baru dirilis tahun 2009 oleh Ian
Koum hanya bermodal investasi $250 (iya, hanya $250). Dua tahun
kemudian, Sequoia Capital menyuntik dana $80 juta. 2013, Sequoia
menambah lagi investasi $50 juta ke Whatsapp. Sampai 2014 ia dibeli
Facebook $19 miliar. Bayangkan betapa tajirnya pemilik saham Whatsapp
seperti Koum dan Sequoia. Facebook 'membeli' setiap user Whatsapp
seharga $42/user. Bulan lalu saya bertemu dengan COO Kompasiana, Pepih
Nugraha, di Jakarta. Beliau bertanya, "Kalau menurut hitungan Mas
Hilman, berapa nilai Kompasiana?" Anda akan terkejut dengan jawabannya.
(*) Hilman Fajrian /hilmanfajrian TERVERIFIKASI (BIRU) Wordsmith. Social
media for business and commerce developer. www.soclab.co
Selengkapnya... IKUTI Share 2832 0 13 KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, S
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hilmanfajrian/mata-uang-baru-itu-bernama-data_564c2214b19273b106541023